Selasa, 13 Januari 2015
In:
politik
DANA KAPITASI : MENSEJAHTERAKAN ATAU BIKIN PERMUSUHAN
Sejak Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) mulai diberlakukan per tanggal 1 Januari 2014 banyak sekali pro dan
kontra bermunculan baik dalam media massa, media elektonik maupun beberapa
keluhan dari pasien pengguna jaminan kesehatan tersebut. Patut dipertanyakan “Apakah
sudah cukup optimal pelayanan yang dilaksanakan selama 1 tahun berjalannya
JKN?” . Kualitas pelayanan yang baik yang diberikan
oleh Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) milik pemerintah yang
dikenal dengan puskesmas sejatinya didukung oleh sarana dan prasarana yang
baik juga kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kesehatanya yang
memadai.
Dengan dimulainya JKN kunjungan layanan
kesehatan membludak hampir 10 -15%, karena dengan adanya jaminan kesehatan,
masyarakat jadi beranggapan “ Mumpung mendapatkan pengobatan gratis
kenapa tidak dimanfaatkan?” oleh karena itu mereka berbondong –
bondong ke fasilitas kesehatan. Dokter, perawat, bidan juga tenaga
lainnya merasa cukup kewalahan melayani kunjungan pasien yang meningkat secara
drastis di tahun 2014 ini. Mulailah ke kisruhan terjadi di kalangan
tenaga puskesmas terlebih lagi dana kapitasi yang dijanjikan oleh BPJS
terlambat turun karena belum keluarnya peraturan yang jelas
terhadap penggunaan Dana Kapitasi tersebut ditambah lagi sarana
dan prasarana di puskesmas yang semakin menipis seperti obat – obatan dan bahan
medis habis pakai padahal jika masyarakat tidak dilayani dengan baik,
siapa yang dipermasalahkan??? Pastinya ujung-ujungnya yang dipermasalahkan
adalah puskesmas juga Namun apakah pemerintah sudah cukup memberikan
perhatian dan kompensasi atas jasa pelayanan yang diberikan oleh SDM kesehatan
di Puskesmas?
Pada tanggal 21 April
2014 diundangkanlah Peraturan Presiden No. 32Tahun 2014 yang
membahas tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminana
Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah. Pada Peraturan Presiden No. 32 tersebut di jelaskan bahwa
BPJS kesehatan melakukan pembayaran kapitasi kepada puskesmas dengan
besaran kapitasi tergantung kepada jumlah kepesertaan di puskesmas. Dalam
BAB III pasal 12 dicantumkan bahwa besaran dana kapitasi yang diperuntukkan
bagi jasa pelayanan sekurang-kurangnya 60% dari total penerimaan dana
kapitasi dan 40% untuk biaya dukungan operasional
di puskesmas misalnya untuk biaya pembelian obat-obatan, alat
kesehatan, bahan medis pakai habis dan biaya operasional lainnya yang dititik
beratkan pada upaya kesehatan perorangan (UKP).
Dari keluarnya
Perpres No. 32 tahun 2014 kemudian dikeluarkanlah Peraturan
Menteri Kesehatan No 19 Tahun 2014 pada tanggal 24 April
2014, PMK inimengatur penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional
untuk Jasa Pelayanan kesehatan dan Dukungan Biaya operasional Pada FKTP Milik
Pemerintah yang didalamnya lebih membahas pembagian jasa pelayanan kepada tenaga
kesehatan dan non kesehatan, dengan mempertimbangkan variabel : (1) jenis
ketenagaan dan atau jabatan dan (2) kehadiran. Dalam regulasi ini pun
dirasa kurang menggigit karena aturan ini hanya menggambarkan kinerja
tenaga kesehatan yang dinilai dari jenis ketenagaan/jabatan dan jumlah
kehadiran nya saja namun tidak ditambahkan variabel lain sebagai
nilai tambah untuk penilaian masing- masing tenaga baik kesehatan maupun non
kesehatan. Hal ini seharusnya juga menjadi masukan kepada Pemerintah pusat
agar dapat mendongkrak integritas tenaga kesehatan terutama tenaga di daerah
terpencil yang jauh dari keramaian perkotaan. Tentu sajadana kapitasi di daerah
pedalaman besarnya berbeda dengan dana kapitasi yang turun di puskesmas
perkotaan karena memang jumlah kepesertaan di puskesmas perkotaan lebih banyak
dari pada di wilayah pedalaman. “Apakah itu cukup adil ? Apakah
pemerintah juga memahami bagaimana kehidupan tenaga kesehatan dan Non kesehatan
di puskemas terpencil ?”
Dari kedua regulasi
terkait Kapitasi BPJS yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat
sepertinya juga harus diturunkan kembali dengan diterbitkannya Peraturan
daerah oleh masing-masing Pemerintah Daerah bila perlu
diperkuat dengan SK dari Kepala SKPD terkait dalam hal ini Dinas Kesehatan baik
Propinsi maupun Kabupaten/Kota, karena variabel dalam penilaian kinerja
yang terdapat dalam peraturan tersebut belum terurai secara terperinci.
Dengan adanya penambahan point-point penilaian terhadap
kinerja baik kesehatan dan non kesehatan setidaknya dapat meredam
kekisruhan yang terjadi dalam pembagian dana jasa pelayanan di puskesmas.
Seperti juga di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengeluarkan SK Kepala Dinas
yang mengatur tentang variabel penilaian jasa pelayanan. Variabel penilaian
yang ditambahkan dalam perhitungan jasa pelayanan kesehatan yaitu dengan
menambahkan status kepegawaian (PNS atau Non
PNS), lama nya masa kerja pegawai dengan
membagi lamanya kerja dengan maksimal masa kerja dikali dengan 30, variabel
kinerja diantaranya : tugas administrative (
sebagai Kepala puskesmas, kepala Tata Usaha, atau bendahara), kompetensi dinilai
dengan jumlah pelatihan yang diikuti selama bulan yang berjalan dan beban
kerja pegawai dinilai dengan seberapa banyak program
yang dipegang oleh petugas, juga variabel penambah dan pengurangan dengan
penilaian prestasi dan tingkat kedisiplinan pegawai yang dinilai
langsung oleh kepala puskesmas. Dengan penambahan variabel
tersebut tenaga kesehatan di puskesmas akan merasa keadilan telah
ditegakkan. “Adil bukan berarti harus disama ratakan pembagiannya namun
adil sesuai dengan proporsi beban kerja yang telah dikerjakan oleh tenaga
tersebut.”
Penulis berpendapat
hendaknya Kepala puskesmas cukup bijak dalam pembagian dana kapitasi jasa
pelayanan, tenaga medis dan paramedis, tidak dapat memunculkan ke
egoisan nya, harus dapat berbagi dengan para honor/sukwan atau tenaga non
kesehatan yang lain di Puskesmas bersangkutan yang lebih penting adalah tidak
mementingkan kekoncoaan antar sesama dokter karena kepala puskesmasnya seorang
dokter dan mengorbankan perawat atau bidan dan lainya. Karena jasa
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga tidak semata-mata merupakan
kerja keras tenaga medis dan paramedis saja, namun petugas non kesehatan
termasukhonor/sukwan mempunyai andil yang cukup besar juga. Dengan
adanya pengaturan pembagian dana jasa pelayanan di puskesmas yang
didasari dengan azas keadilan,saling pengertian juga toleransi setidaknya
kekisruhan dikalangan petugas baik kesehatan dan non kesehatan
berangsur - angsur dapat di hilangkan sehingga kinerja pelayanan kesehatan
pun dapat ditingkatkan dan pelayanan kesehatan juga menjadi optimal.
Langganan:
Postingan (Atom)