Sabtu, 19 Oktober 2013
In:
hukum
Uji materi PERMENKES NO 148 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan praktik mandiri perawat Indonesia
A.
Metode Penelitian
Metode penilitian berfungsi untuk mendekati serta memperoleh kebenaran yang
objekif tentang permasalahan hukum yang diteliti. Penulis dalam hal ini akan
menjabarkan dalam beberapa hal antara lain:
1.
Tipe
Penulisan
Tipe penelitian
hukum yang dilakukan adalah yuridis normatis (hukum normatis). Metode
penilitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.[1]
Oleh karena itu
penelitian hukum ini difokuskan untuk mengkaji penelitian hukum tentang
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, yakni norma hukum yang
terkait dengan kesalahan/kelalaian dalam memberi pelayanan keperawatan sebagai
tindak pidana malpraktek dan perlindungan hukum terhadap pelaku malpraktek.
2.
Pendekatan
masalah
Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan(statute approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Selain
itu juga digunakan pendekatan konsep (canceptual approach). Pendekatan konsep
ini digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan hukum yang digunakan dan
perlindungan hukum terhadap pelaksanaan praktek asuhan keperawatan mandiri.
3.
Bahan Hukum
a.
Bahan hukum
primer
Yaitu bahan yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang terdiri dari: UUD 1945, KUHPidana,
KUHPerdata, UU No. 36 tahun 2006 tentang kesehatan, UU No. 29 tahun 2004
tentang praktek kedokteran, UU No 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, UU No. 35
tahun 2009 tentang narkotika, UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, PP
No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, PERMENKES No. 148 tahun 2010
tentang ijin dan penyelenggaraan praktek perawat, PERMENKES No. 1239 tahun 2001
tentang reistrasi dan praktik perawat. PERGUB JATIM No. 4 tahun 2010 tentang
Pondok Kesehatan Desa di jawa timur, SURAT EDARAN GUB No. 188/139/013/ tahun
2010 tentang Ponkesdes.
b.
Bahan hukum
sekunder
Yaitu bahan-bahan
hukum yang erat hubunganya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu,
menganalisa serta memahaminya yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang
berupa literatur-literatur, majalah, surat kabar, tulusan-tulisan para ahli
yang langsung berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada hubunganya dengan
materi penelitian.
c.
Bahan hukum
tersier
Yaitu bahan-bahan
yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti: kamus hukum, media cetak dan media elektronik.
4.
Prosedur
Pengumpulan Bahan Hukum
Data primer dan sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang
telah dirumuskan dan diklasifikasi menurut sumber dan hirarkhinya untuk dikaji
secara komprehensif.
5.
Pengolahan
dan Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan, yang penulis uraian dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab
permasalahan yang dirumuskan. Cara pengelolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum
terhadap permasalahan kongkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan dianalisa untuk
melihat bagaimana aturan dan perlindungan hukum terhadap perawat yang melakukan
praktik mandiri.
A.
Pengaturan Praktik Perawat
Menurut Permenkes Nomor 148 Tahun 2010
Kita semua tahu bahwa profesi perawat adalah bagian
dari profesi pelayanan kesehatan yang mana didalam semua aktifitas pelayanannya
telah diatur didalam UU Nomer 36 tahun tentang Kesehatan dan dalam pembagian
tenaganya juga telah diatur dalam PP Nomer 32 tentang tenaga kesehatan dan yang
terbaru PERMENKES Nomer 148 tahun 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
perawat.
Dalam hal pengaturan praktik perawat diatur dalam
pasal 2, 8, 9,11 dan 12, PERMENKES 148 Tahun 2010 yang berbunyi :
Pasal 2
(1) Perawat dapat menjalankan
praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan
diluar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri.
(3) Perawat yang menjalankan
praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perpendidikan minimal
Diploma III(DIII) keperawatan.
Dalam pasal ini perawat diberi wewenang untuk
melaksanakan praktik mandiri di rumah selain bekerja pada institusi kesehatan
lainya, ini adalah merupakan suatu penghargaan buat profesi perawat yang mana
pada PERMENKES yang lama tidak mengatur hal ini.
Pasal 6
“Dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan nama
praktik keperawatan”.
Dalam penerapan pasal ini terjadi
anbivalensi atau ketidak-percayaan diri pada perawat terutama di daerah yang
pemda/bupatinya tidak ada perhatian sama profesi perawat terutama di gresik.
Lain hal dengan perawat di kab. Kebumen
semua perawat yang praktik mandiri di wajibkan memasang papan nama,
selaras dengan pidato ketua PPNI kab. Kebumen dalam diskusi panel praktik legal
perawat menurut UU terbaru di Indonesia, Acara
diskusi itu bertepatan dengan International Nurses Day yang
diperingati setiap tanggal 12 Mei. Diskusi yang di gelar di gedung aula
STIKES Muhammadiyah Gombong pada tanggal 12 Mei 2010, dihadiri pejabat pemkab,
kepala satpol PP selaku petugas penertipan pelaku pelanggaran PERMENKES,
praktisi hukum kesehatan dan anggota Dewan Kab. Kebumen.
Ketua PPNI Kab. Kebumen H. Tri Tunggal Eko Sapto, SKM, MPH menegaskan
bahwa: “konsep praktek keperawatan mandiri yaitu memiliki lisensi, memahami HAM
dan hak-hak pasien, memahami etika dan system hukum yang berlaku, berbicara
dengan hati-hati, memahami prosedur informed consent, memahami rahasia pasien
serta harus memahami standar asuhan keperawatan. “ Tindak lanjut dari Permenkes
148 ini harus ada Perda/ Perbup untuk mengatur praktek keperawatan mandiri.
Bagi teman sejawat yang sudah memiliki SIPP wajib memasang papan nama praktek
(plang) sesuai dengan Permenkes 148, “ imbuh H. Tri Tunggal Eko Sapto, SKM,
MPH.[2]
Pasal 8
(1)
Praktik keperawatan dilaksanakan pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.
(2)
Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan pada, keluarga, kelompok dan masyarakat.
(3)
Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui kegiatan :
a.
Pelaksanaan asuhan keperawatan
b.
Pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan
pemberdayaan masyarakat.
c.
Pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer.
(4)
Asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a
meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, pelaksanaan tindakan
keperawatan.
(5)
Implementasi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) meliputi penerapan perencanaan dan pelaksaan tindakan keperawatan.
(6)
Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
meliputi pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan
dan konseling kesehatan.
(7)
Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat memberikan obat bebas dan/atau 0bat bebas
terbatas.
Pada pasal ini menitik beratkan pada kewenangan, tugas dan fungsi perawat
terutama pada pelayanan kolaboratip di rumah sakit dan atau ditempat kerja yang
pada tanggungjawab keseluruhan tidak pada perawat saja melainkan tim pelayanan
kesehatan, kecuali pada pada ayat (4) dan ayat (7) yang memberikan kewenangan
yang bersifat mandiri.
Pasal 9
“Perawat dalam melakukan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki.”
Perawat dalam melakukan praktik,perawat diwajibkan mematuhi stantar etik
dan standar prosedur operasional agar terhindar dari masalah hukum, dan untuk
meningkatkan mutu pelayanan sesuai yang diharapkan kedua belah pihak baik
pasien maupun perawat.
Pasal 11 dan 12
yang berisikan hak dan kewajiban perawat serta hak dan kewajiban pasien yang
telah penulis paparkan pada halaman diatas.
Dan yang terpenting
adalah hak serta kewajiban pasien dan perawat perlu disosialisasikan dikalangan
perawat/dokter dan di tengah-tengah masyarakat agar tiap-tiap pihak memahami,
menghayati, menghormati, dan mengamalkannya. Dengan demikian, diharapkan
hubungan pasien dengan perawat dapat berlangsung dengan baik dan masyarakat pun
bebas dari keresahan.[3]
A.
Perlindungan Hukum terhadap praktik mandiri perawat
Perawat sebagai tenaga profesional memiliki akuntabilitas terhadap
keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas profesi sehari-harinya,
tidak menutup kemungkinan perawat berbuat kesalahan dan kelalaian baik yan
disengaja maupun tidak disengaja.
Untuk menjalankan praktiknya, maka secara hukum perawat harus dilindungi
terutama dari tuntutan malpraktik dan kelalaian dalam keadaan darurat. Sebagai
contoh misalnya di Amerika Serikat terdapat undang-undang yang bernama Good
Samarinta Acts yang melindungi tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan
pada keadaan darurat. Di kanada terdapat undang-undang lalu lintas yang
membolehkan setiap orang untuk menolong korban pada setiap situasi kecelakaan,
yang bernama Traffic Acts.[4]
Di Indonesia telah menerbitkan UU Nomer 36 Tahun 2006 serta PP Nomer 32
Tahun 1996 dan yang terakhir PERMENKES Nomer 148 tahun 2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik perawat, inipun dalam penerapannya dilapangan masih
membutuhkan penjabaran melalui PERDA/PERBUP karena perlindungan hukum yang
muncul dalam pasal tersebut sangatlah sempit. Seperti terdapat dalam pasal 11
bagian a PERMENKES Nomer 148 tahun 2010 yang berbunyi :
“Dalam melaksanakan praktik, perawat mempunyai hak :
a.
Memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik keperawatan sesuai standar.”
Pasal ini masih membutuhkan penjabaran yang lebih rinci tentang apa saja
yang boleh dan apa saja yang tidak boleh dikerjakan oleh seorang perawat dalam
melaksanakan praktik mandiri dirumah terutama di daerah pinggiran yang notabene
golongan masyarakat pedesaan dan miskin, yang mana untuk masalah pelayanan
kesehatan masih mengadalkan perawat/mantri untuk masalah kesehatan mereka. Hal
ini sebenarnya di akui sendiri oleh Menteri Kesehatan yang sekarang dr. Nafsiah
Mboi. SpA. MpH, yang menyatakan “kita (Indonesia) masih kekurangan tenaga
dokter yang banyak untuk mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah kita
sendiri(Indonesia)” pada suatu acara di Surabaya yang di siarkan SCTVdalam
program liputan Enam petang, pada tanggal 1 Mei 2013.
Pasal 10
(1) Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa
seseorang/pasien dan tidak ada dokter ditempat kejadian, perawat dapat
melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenagan sebagaimana dimaksud dalam pasal
8.
(2) Bagi perawat yang menjalankan praktik didaerah yang tidak
memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dmaksud dalam pasal 8.
(3) Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dalam
ayat (2) adalah harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan
kemungkinan untuk dirujuk.
(4) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota.
(5) Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah
terdapat dokter, kewenangan perawat sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak
berlaku.
Pasal ini seperti diatas masih memerlukan penjabaran yang lebih rinci agar
tidak terjadi konflik baik dengan diri pelaksana sendiri karena merasa takut
terjadi kesalahan maupun dengan penerima layanan/pasien. Pada pasal ini juga
terdapat pengalihan dan/atau pengaburan peran perawat yang secara formal, dari
peran keperawatan kepada peran pengobatan dan ini yang sebenarnya menjadi
sumber konflik antara dokter sendiri sebagai pemegang hak pengobatan dan
perawat selaku pembajak hak maupun dengan pasien selaku pemakai jasa, dan
masalah ini sendiri telah lama ada dan pemerintah sendiri mengetahui masalah
ini dengan di dasari diterbitkanya pasal ini. masalah antara peran perawat
sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sekaligus sebagai tenaga
kesehatan yang melakukan pengobatan banyak dialami di Indonesia, terutama oleh
perawat puskesmas (instansi pemerintahan) atau yang tinggal di daerah perifir
(perawat praktik mandiri)[5].
Dan yang menjadi korban masalah ini adalah perawat, sebagai contoh kasus
perawat di Kalimantan yang dipidanakan karena kasus ini, di kebumen perawat di
tindak satpol PP karena melakukan praktik mandiri,[6]
serta di Gresik pada era 2010 awal perawat diambil polisi dengan kasus yang
sama.
Bila kita kaji lebih dalam, masalah ini tidak saja berimplikasi pada upaya
preventif dan kuratif, tetapi berimplikasi pada etika dan hukum. Penyelesaian
masalah ini tentu saja tidak dapat di tangani oleh perawat yang bersangkutan,
tetapi harus melibatkan berbagai pihak, baik Kementrian Kesehatan, badan hukum,
PPNI, IDI, institusi pendidikan, serta masyarakat sendiri, yang merupakan
konsumen layanan kesehatan.
Pada suatu forum perawat sempat terdengar akan membawa masalah perawat
tersebut ke KOMNAS HAM, cuman terbesik
dalam hati kami suatu pertanyaan bisakah kebijakan pemerintah dlaporkan ke sana
sebagai pelaku diskriminasi pada individu perawat serta profesi perawat???,
yaitu dalam pasal 30 UU Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat”.
Sesuai dengan bunyi pasal diatas perawat baik individu maupun profesi
merasa takut dan tidak nyaman serta tidak terlindungi bila melakukan praktik
mandiri karena belum jelasnya perundang-undangan yang ada saat ini dan belum di
terbitkannya peraturan dibawahnya.
posting : xsunkasogi@gmail.com
Malang 2006, h...57
[2] http://www.hendritamara.blogspot.com/ diskusi panel praktik legal perawat menurut UU terbaru
di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar